Baru-baru ini saya ditanya oleh seorang kandidat General
Manager apakah lebih baik menjadi seorang manager yang otoriter tetapi
menghasilkan result yang bagus atau
manager yang baik dan disukai oleh teamnya tetapi hasilnya so-so.
Saya jadi ingat pengalaman seorang manager yang baru dipromosikan
untuk melaksanakan banyak target dan menggantikan manager yang sangat baik hati
dan disayang oleh teamnya. Jadwal kerja
normal yang 5 hari per minggu bisa diubah menjadi 4 hari per minggu atas kebijaksanaan
manager yang baik hati tanpa sepengetahuan HRD.
Banyak sekali tindakan disipliner yang dibiarkan karena sang manager
tidak suka untuk memiliki konflik dengan teamnya. Alhasil, departemen berjalan dengan segala
kompromi dan kebaikan tetapi kinerja departemen so-so.
Manager yang baru dipromosikan terkenal sebagai manager yang
tegas dan disiplin. Bayangkan manager tersebut
pada saat harus memulai tugas barunya mendapatkan serangkaian target dari CEO yang notabene
menyangkut disiplin dan kualitas. Sang
manager baru pun berhasil membongkar banyak kasus dan membuat kinerja
departemennya meningkat dengan tajam. Manager
baru tersebut membangun cara kerja yang lebih profesional, menerapkan reward
dan punishment, merapikan seluruh issue kekaryawanan, mencapai hasil yang
ditargetkan dan dihargai oleh top management.
Tetapi serangan yang diterima dari teamnya luar biasa. Termasuk berusaha digulingkan dari kursi
manajernya sebanyak dua kali dalam kurun waktu 6 bulan. Sementara manajer yang baik hati tetaplah
manager favorit dan memiliki nama yang harum diantara teamnya.
![]() |
| Gambar diambil dari www.betterboards.net |
Jadi apakah lebih baik menjadi manager yang baik hati
atau tegas?
Saya percaya bahwa leadership adalah seni. Seni menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keahlian membuat karya yang bermutu. Art menurut Merriam-Webster dictionary adalah something that is created with imagination and skill and that is beautiful or that expresses important ideas or feelings. Leadership membutuhkan ketrampilan, kematangan
dan kepandaian emosi untuk dapat menciptakan team yang memiliki motivasi tinggi
sehingga dapat mencapai target dengan bersemangat dan gembira. Formula terbaik antara berapa persen
kebaikan, berapa persen ketegasan dan berapa persen empati sangat bergantung
kepada situasinya dan pengalaman kita dalam menghadapi serangkaian interaksi
dengan anggota team. Gaya kepemimpinan seseorang adalah hasil karya,
hasil karya seni memimpin seorang manager.
Sehingga, apresiasi yang diberikan-pun akan tergantung kepada “selera”
masing-masing subordinates. Ada yang suka dipimpin manager yang baik, ada yang
suka dipimpin manager yang tegas dan ada
yang suka dipimpin manager yang baik dan tegas.
Kita bisa belajar banyak dari para maestro seni kepemimpinan
seperti Peter F. Drucker yang percaya
bahwa your leadership is unique. There is no one “leadership
personality”. Anda memiliki banyak pilihan gaya kepemimpinan tetapi yang paling baik adalah temukan gaya Anda sendiri. (ade noerwenda)

Absolutely agree Ibu.
BalasHapusBaik atau Tegas?
BalasHapusBaru-baru ini saya ditanya oleh seorang kandidat General Manager apakah lebih baik menjadi seorang manager yang otoriter tetapi menghasilkan result yang bagus atau manager yang baik dan disukai oleh teamnya tetapi hasilnya so-so.
Hmmm...kANDIDAT GMnyafresh graduate kali bu ya..( Just Joke). Nah bila saya saya recruiternya pastinya beliau akan menghabiskan banyak kopi untuk diskusi siraman rohani.
Bisnis adalah bisnis. Bukan masalah baik, tegas, arogant, dsb...ada REL (BUKAN JALAN 2 ARAH YB BISA PULANG PERGI) YANG MENGATUR SEMUA urusan bisnis dan pelaku bisnis. Masalh disukai atau tidak juga presepsi yang sah sah saja. ( Presiden aja dikritisi dan di benci konon hanya seorang GM) Bisnis adalah Revenue Budget. Bah...ini dulu opini saya bu..boleh diterima, dipertimbangkan atau dibungkus masuk trash juga boleh. tergantung penyikapannya.
Salam Revenue,
HM