Notes, observations and thoughts of tourism, Human Resources, Corporate Social Responsibility and Education
Rabu, 17 Desember 2014
Menjadi Karyawan vs Entrepreneur
Saya Ade, Saya punya company HR & CSR consultant sendiri, itu adalah kalimat perkenalan Saya sekarang. Reaksi wajah datar dari lawan bicara Saya, merupakan reaksi standar. Sangat berbeda reaksinya jika saya mengatakan Saya Ade, Saya bekerja di Accor. Biasanya lawan bicara saya langsung mengajak saya berbicara lebih jauh dengan antusias dan menanyakan discount. Menarik, karena menjadi entrepreneur ternyata kurang sexy jika dibandingkan dengan menjadi karyawan.
Menjadi entrepreneur yang notabene jaman ibu Saya muda tidak ada, juga sangat susah menjelaskannya. Generasi ibu Saya hanya mengenal satu jenis pekerjaan terbaik di dunia, yaitu pegawai negeri. Begitu beliau mendengar saya keluar dari zona nyaman saya untuk memulai bisnis saya sendiri, beliau tidak habis mengerti, meskipun percaya, bahwa apa yang Saya lakukan sudah melalui pertimbangan yang sangat matang. Setiap kali kami bertemu, pasti beliau akan bertanya jadi kamu punya kantor sendiri...kamu bekerja setiap hari? atau kamu dapat gaji setiap bulan?
Zona nyaman saya berakhir sejak dokter mengatakan jika Saya tidak merubah gaya bekerja dan hidup Saya, kemungkinan besar Saya harus mengganti total lutut kiri Saya. Akhirnya Saya memutuskan untuk menjadi seorang entrepreneur dengan membuka perusahaan konsultan Human Resources dan Corporate Social Responsibility. Keputusan yang datang dari beribu jam diskusi dan pertimbangan.
Ternyata untuk menjadi seorang entrepreneur memerlukan empat hal: skills, capital ,guts dan dukungan orang terdekat. Jika kita hanya memiliki guts (keberanian) tetapi tidak memiliki skills (keahlian) dan capital (modal),tidak cukup untuk bisa membuka bisnis sendiri. Atau, kita punya capital saja tetapi tidak memiliki guts dan skills, mungkin tetap bisa untuk membuka bisnis sendiri, tetapi biaya operasional menjadi lebih mahal karena harus mempekerjakan seorang ahli di bidang yang dipilih. Sama halnya jika kita hanya memiliki skills tetapi tidak memiliki guts dan capital, ya kita akan memilih di zona nyaman seumur hidup.
Sementara itu jika bisnis kita baru mulai, kita akan sering menerima reaksi "datar" dan tidak akan dapat mengajukan kredit ke Bank sebelum bisnis kita berumur dua tahun. Nah situasi seperti ini membutuhkan keberanian untuk menghadapinya tentu saja dengan pertimbangan yang matang dan yang paling penting dukungan dari orang terdekat. Dukungan dan perhatian dari orang terdekat akan menyuntikkan semangat untuk selalu berusaha mendapatkan bisnis setiap hari.
Saya sangat beruntung karena memiliki empat hal tersebut, sehingga bisa memulai babak baru dari hidup saya untuk menjadi seorang entrepreneur, meskipun tidak se "sexy" jika saya menjadi karyawan. Ternyata menjadi seorang entrepreneur sangat menyenangkan, terutama dari kebebasan waktu dan kebebasan berkreasi.
Menjadi karyawan atau entrepreneur merupakan pilihan dengan konsekuensinya masing-masing. Semuanya bisa menyenangkan jika kita menikmatinya. Selamat datang dunia entrepreneur!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sangat menarik sekali bu topik nya...mungkin kalo boleh saya tambahkan satu hal yang penting juga sebagai Entrepreneur kita harus memiliki "strong network", terutama di jaman Gen Net seperti sekarang ini..tidak jarang bisnis dtg bukan dari orang terdekat kita, tetapi dari saudara teman nya teman orang terdekat kita...
BalasHapus