Minggu, 11 Juni 2017

Di Balik Sukses Seorang Wanita

Sumber: http://www.freepik.com/free-photo/silhouette-of-family-playing-on-the
-beach_945742.htm#term=happy family&page=1&position=13

Saya tidak bisa kalau tidak ada suami saya. Saya hanya bisa menyanyi dan bermusik. Yang lainnya yang mengatur suami saya. Demikian kata pasangan maestro karawitan jawa yang lebih terkenal di luar negeri daripada di Indonesia.  Sang istri, pesinden nomor satu di Indonesia sudah menyelesaikan beasiswa S2 nya dan sampai sekarang sangat sibuk untuk melakukan tour ke Eropa, Amerika dan Asia.  Anak mereka yang 2 tahun diurus oleh sang suami. Beasiswa S3 sudah menanti, tetapi masih menunggu kesiapan suami.

Saya jadi ingat sahabat saya yang hidup di dua negara. Bersuamikan orang Australia, dia tinggal di Australia.  Sahabat saya ini bekerja dua minggu di Indonesia dan dua minggu di Australia dan di antaranya bepergian keliling dunia.  Suaminya sangat mendukung. Mereka mengatur jadwal perjalanan sesuai dengan kegiatan masing-masing, sehingga tidak ada yang meninggalkan 2 anak gadis mereka yang cantik-cantik.

Saya sendiri sering bepergian dan pernah dikasih komentar “Ade, either you are happily married or divorced. Because you never look worried with your mobile”.  Saya terangkan bahwa saya sangat beruntung memiliki suami yang mendukung saya.  Suami yang percaya Saya bisa menjaga diri. Kuliah S2 saya adalah berkat dorongan suami juga.  Saya sudah divonis harus ganti lutut, tetapi dengan perhatian dan ketelatenan suami, saya bisa memperpanjang usia lutut saya. Sehingga saya sampai detik ini  masih tetap bisa bepergian dan berguna bagi orang lain.

Saya pernah bertanggung jawab untuk menyemangati para manajer wanita di industri perhotelan agar bisa mencapai posisi tertinggi di hotel, General Manager. Untuk Saya bisa mencapai target 10% dari seluruh General Manager adalah wanita, merupakan hal yang sangat tidak mudah.  Banyak yang gagal di tengah jalan karena tidak tahan dengan tekanan pekerjaan, tekanan suami atau konflik internal lainnya.  Mereka yang berhasil biasanya memiliki suami yang sangat mendukung dan memahami pekerjaan istrinya. Industri perhotelan dengan jam kerja yang panjang  memang sangat menuntut dukungan keluarga.

Jadi jika ada peribahasa “Di balik kesuksesan seorang pria pasti ada wanita hebat di belakangnya”,  di balik kesuksesan seorang wanita juga pasti ada dukungan dan doa dari suami. Atau, kata teman saya “ada pria yang mengikhlaskan dirinya tidak diurus agar kamu bisa meraih mimpi-mimpimu”.

Catatan kecil buat para suami hebat ini saya mau tutup dengan apa yang saya rasakan bahwa jika kita mencintai pekerjaan kita maka setiap hari akan menjadi hari yang menyenangkan. Tekanan yang ada bukan merupakan halangan untuk maju dan berhasil. Apalagi, jika kita bisa menemukan seorang suami yang merupakan seorang teman terbaik kita di masa-masa yang menyenangkan dan  sulit, berkarier dan berkeluarga bukanlah masalah. (ade noerwenda)

Kamis, 16 Februari 2017

Ade Noerwenda: Beda Langkah Pusat – Daerah Soal Desa Wisata

Kementrian Pariwisata bisa meng-klaim bahwa sudah ada ratusan Desa Wisata yang telah dibangun kenyataannya Dinas Pariwisata masing-masing propinsi tidak mengatakan demikian.  Langkah pusat dan daerah dalam hal desa wisata ternyata masih berbeda.  Nampaknya kesempatan emas untuk menunjukkan implementasi Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia di tahun 2017, akan terlewatkan begitu saja.

Beda Langkah Pusat – Daerah Soal Desa Wisata

Saya bangga sekali ketika membaca Desa Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Patuk, memperoleh penghargaan sebagai Desa Wisata Terbaik I Indonesia dan menerima penghargaan ASEAN Community Based Tourism (CBT) Award 2017, yang di serahkan di Singapura, Jumat 20 Januari 2017. (https://m.tempo.co/read/news/2017/01/21/242838401/desa-wisata-nglanggeran-terbaik-asean-2017)

Bukan karena saya orang Yogyakarta, tetapi karena saya mengikuti beberapa perjuangan masyarakat desa di Yogyakarta untuk menjadi desa wisata. Dengan keterbatasan ketrampilan dan pengetahuan, mereka selalu bersemangat untuk belajar memperbaiki kualitas program yang ditawarkan ke wisatawan, belajar memasarkan desa mereka di internet, belajar mengelola keuangan dan belajar melayani para tamu yang datang.

Desa Wisata yang diinisiasi oleh masyarakatnya merupakan contoh dari pelaksanaan Pariwisata Berkelanjutan. Pariwisata yang lebih bertanggung jawab dan berkomitmen yang dapat memanfaatkan potensi besar dalam hal kesejahteraan ekonomi, inklusi sosial, perdamaian dan pemahaman, budaya dan pelestarian lingkungan. (Taleb Rifai, Sekretaris Jenderal UNWTO, http://media.unwto.org/press-release/2015-12-07/united-nations-declares-2017-international-year-sustainable-tourism-develop)

Tahun 2017 dinyatakan sebagai Tahun Internasional Pariwisata Berkelanjutan oleh Majelis Umum PBB. 12 bulan kesempatan untuk merayakan dan mempromosikan kontribusi terhadap sektor pariwisata dalam membangun dunia yang lebih baik.  Jadi, tahun ini merupakan kesempatan yang bagus bagi Kementrian Pariwisata untuk mempromosikan seluruh desa wisata yang menawan di Indonesia dan menumbuhkan semangat bukan liburan biasa dengan berpetualang ke desa wisata.

Tantangannya sekarang adalah, mencari informasi seluruh desa wisata yang ada di Indonesia dan keunikan programnya.  Pada tanggal 22 November 2016, Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Ahmad Erani Yustika di sela-sela Rakernas Bidang UMKM, Koperasi, dan Ekonomi Kreatif Kadin, Senin (21/11), di Jakarta, menyebutkan, target desa wisata 2015-2019 mencapai 4.000 desa. Sejak dikumandangkan tahun 2015 hingga sekarang telah berdiri 150 desa wisata. (http://travel.kompas.com/read/2016/11/22/191100127/indonesia.memiliki.150.desa.wisata)  

Sementara itu dari laman Kemenpar disebutkan bahwa Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf - dulu bernama Kemenbudpar) telah melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata sejak 2009 lalu. Hingga kini, sudah ada 569 desa yang dikembangkan menjadi desa wisata, dengan bantuan dana Rp 150 juta setiap desa. Pada 2012, Kemenparekraf menargetkan 960 desa dapat dikembangkan menjadi desa wisata. Sementara tahun 2014, ditargetkan ada 2 ribu desa wisata. (http://www.kemenpar.go.id/asp/detil.asp?c=16&id=814)

Dengan program pengembangan desa wisata dari Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan Kementrian Pariwisata seharusnya Indonesia sudah memiliki ribuan desa wisata.  Tetapi data dari laman resmi 34 Dinas Pariwisata di Indonesia ditemukan hanya 4 Propinsi yang memiliki program Desa Wisata (Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali). Data ini didapatkan dari website Kementrian Pariwisata yang memberikan daftar website resmi dari seluruh Dinas Pariwisata di Indonesia. Akses dilakukan antara tanggal 10 Januari 2017 hingga 15 Januari 2017.  Dari 34 Dinas Pariwisata di Indonesia, berikut adalah hasil penemuan penulis:
Sumber: Penulis, 2017
Sangat prihatin untuk menemukan bahwa website resmi 7 Dinas Pariwisata (Sumatera Selatan, Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku) tidak bisa diakses bahkan ada keterangan “suspended”. Dari 4 propinsi yang memiliki data mengenai Desa Wisata, jumlah Desa Wisata yang terdaftar di tahun 2016 adalah 47 desa wisata.  Bukan ratusan atau bahkan ribuan seperti yang ditulis di press release atau media massa.

Sumber: Penulis, 2017

Dinas Pariwisata Yogyakarta adalah satu-satunya Dinas Pariwisata yang menampilkan jumlah Desa Wisatanya disertai dengan angka kunjungan wisatawan setiap bulannya.  Sangat mudah bagi orang awam untuk mendapatkan informasi desa wisata di Yogyakarta. Saya yakin ini juga karena kesiapan para akademisi di Yogyakarta yang memiliki kepedulian tinggi terhadap isu Pariwisata Berkelanjutan. Saya pernah membuat program kerjasama untuk Capacity Building di Desa Wisata Candran dengan Program Studi Pariwisata UGM dan Dinas Pariwisata Yogyakarta pada tahun 2012, sehingga saya bisa melihat apa yang dilakukan para mahasiswa pasca sarjana dan dosen-dosen Studi Pariwisata UGM dalam mendampingi masyarakat desa untuk mempersiapkan mereka menjadi pelaku pariwisata yang berdaya, yang menjaga harmoni antara lingkungan, budaya dan kebutuhan ekonominya.

Untuk mengejar target 20 juta wisatawan di 2019, diperlukan dukungan seluruh pemangku pariwisata Indonesia. Salah satu strategi adalah pemasaran yang dilakukan melalui internet, dengan penyediaan informasi mengenai produk wisata lokal.  Menuntut keseragaman tampilan dari website Dinas Pariwisata mungkin terlalu berlebihan, karena akan berhubungan dengan budget.  Tetapi memastikan bahwa website tetap bisa diakses dan keseragaman informasi apa saja yang harus ditampilkan tidak perlu budget besar, hanya perlu pemahaman dan kepedulian.  Sudah waktunya dipikirkan platform untuk seluruh desa wisata di Indonesia sehingga memudahkan wisatawan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan mengenai destinasi desa wisatanya.

Desa Wisata jika dikelola dengan baik, bisa meningkatkan penghasilan masyarakat, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan membantu Kementrian Pariwisata mencapai target jumlah kunjungan wisatawan.  Ambil contoh Kabupaten Gunung Kidul, lokasi Desa Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, kunjungan wisatawan per 5 Desember 2016 adalah sebesar 2,507,335 orang dengan PAD sebesar Rp. 20,224,777,317 (sumber: presentasi Budi Martono di DPR Yogyakarta, 27 Desember 2016). Jika benar di Indonesia sudah ada ratusan Desa Wisata, jumlah masyarakat desa yang sudah merasakan peningkatan kesejahteraannya pasti meningkat sama halnya dengan sudah banyadan berapa banyak PAD yang sudah dihasilkan.

Kementrian Pariwisata bisa meng-klaim bahwa sudah ada ratusan Desa Wisata yang telah dibangun kenyataannya Dinas Pariwisata masing-masing propinsi tidak mengatakan demikian.  Langkah pusat dan daerah dalam hal desa wisata ternyata masih berbeda.  Nampaknya kesempatan emas untuk menunjukkan implementasi Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia di tahun 2017, akan terlewatkan begitu saja.  (ade noerwenda)


  

Minggu, 01 Januari 2017

Ade Noerwenda: Ibu, "Agent of Change" Terbaik

Ade Noerwenda: Ibu, "Agent of Change" Terbaik

Ibu, "Agent of Change" Terbaik

"Keponakan saya, Gino, menikah, umurnya masih 16 tahun. Karena istrinya juga seumur, mengurusnya agak lama. Perlu tiga bulan untuk menikahkan keponakan saya dan istrinya. Sementara kehamilan istrinya sudah masuk usia 7 bulan, jadi perutnya sudah kelihatan buncit". Itu cerita asisten rumah tangga saya.

Saya jadi penasaran, ini jaman millenial, kok masih ada pernikahan dibawah umur.
Saya tanya lebih jauh tentang keluarganya Gino. Ibunya Gino penjual makanan, yang selalu sibuk sama warungnya. Gino tumbuh besar dengan pendidikan dari sekolah saja. Waktu Gino mau masuk SMP pun dia sudah mengancam ibunya, hanya mau sekolah kalau sudah dibelikan motor.

Asisten rumah tangga saya bilang, istrinya Gino memang sering main ke rumah Gino dan kalau disuruh pulang tidak mau.

Saya jadi ingat kalimat-kalimat yang sering menyudutkan wanita karier. Wanita karier melupakan keluarga lah, wanita karier tidak bisa urus anak lah, dlll. Persepsi wanita karier adalah yang bekerja di kantor. Naah, kalau yang bekerja sendiri untuk mencari makan dan menghidupi keluarga, yang berjualan di pasar, yang punya warung, itu bagaimana?

Buat saya mau wanita yang bekerja di kantor, punya warung, punya usaha atau yang memiliki kesibukan semua punya beban dan tanggung jawab yang sama jika mereka sudah menjadi seorang ibu.

Belajar dari kasus Gino, saya mengerti ternyata pendidikan seks masih belum disampaikan dengan baik. Saya ingat waktu anak gadis saya mendapatkan menstruasinya yang pertama, di usia 11 tahun, saya kemudian menerangkan dengan bahasa yang sangat sederhana arti perubahan tubuh dan akibatnya.  Kemudian penjelasan mengenai sistem reproduksi saya berikan lagi berulang-ulang sesuai dengan usianya.

Asisten rumah tangga saya kemudian bertanya, boleh ya kita mengajarkan begitu? Saya bilang kalau tidak ibu lalu siapa? Berharap guru di sekolah akan mengajarkan hal tersebut? 

Sama halnya bagaimana anak saya waktu SMA sangat frustasi dengan teman-temannya yang tidak pernah antri, tidak pernah bilang terima kasih dan tidak pernah meminta maaf jika salah. Siapa yang mengajarkan untuk selalu berterima kasih, antri dan minta maaf dari anak-anak masih kecil?

Coba lihat kasus Citilink dengan pilotnya yang mabuk baru-baru ini, CEO nya, Albert Burhan dan Direktur Operasionalnya, Hadinoto Soedigno langsung mengundurkan diri. Pertama kali di sejarah Indonesia ada orang yang berjiwa besar seperti itu. Saya penasaran, siapa ibu-ibu mereka dan apa yang diajarkan beliau. 

Gino, mengingatkan saya bahwa pendidikan adalah kunci keberhasilan bangsa, seharusnya berawal dari rumah. Jika saya boleh bermimpi di tahun 2017, saya bermimpi ada kurikulum mata kuliah untuk menjadi seorang ibu yang baik, yang bisa membantu anak-anaknya bikin PR, yang mengerti proses tumbuh kembang anak, yang mengajarkan budi pekerti, yang mengajarkan ketrampilan untuk bersosialisasi dan hidup dan tidak memanjakan anak-anak.

Saya berterima kasih, saya waktu SD dibuat sangat sibuk oleh ibu saya. Saya harus belajar menari Bali, karena menari Bali membentuk kelenturan tubuh saya dan saya belajar budaya. Saya harus les bahasa inggris, karena itu adalah bahasa dunia. Saya harus suka olah raga, belajar berenang, badminton, pingpong, tenis dan bahkan karate. Akhirnya saya belajar bahwa dari olahraga terbentuk jiwa sportif, bahwa ada saat menang dan kalah. Jika kalah ya harus menerima. 

Mungkin pemerintah sudah waktunya untuk menggunakan talenta para ibu untuk menjadi agent of change dengan misi: membuat Indonesia lebih baik, yang para generasi mudanya memiliki ketahanan mental dan budi pekerti, memutus rantai kemiskinan atau bahkan membangun generasi entrepreneur.(ade noerwenda) 





Jumat, 19 Agustus 2016

Does Indonesia needs investors in tourism industry?

We will bring you between 40% to 50% of Gross Operating Profit. The closing statement from an international hotel management group who is looking for a partner to develop their brands and market in Indonesia made me thinking whether Indonesia really need investors in tourism industry?  With a population of 250 million +, of course Indonesia by numbers itself is a very lucrative market for any products and investors.

President Joko "Jokowi" Widodo's administration has set a target of reaching 20 million foreign tourists and 275 million domestic tourists by 2019, when Jokowi's tenure ends.
The target is expected to contribute 8 percent to national gross domestic product, accounting for Rp 240 trillion and 13 million people working in the sector by 2019. The government is eyeing 30th position among 141 tourist countries.  (http://www.thejakartapost.com/news/2015/11/19/ri-tourism-dreaming-big.html)

My experiences in the hospitality industry have taught me that tourism is a people centric industry.  The 13 million people who are targeted to work in the industry should have been very happy with this prospective opportunity. It will improve their welfare, their skills and their livelihood.
However, not all hotel management, operators and owner are into people. When they are purely investors they do not bother with the people aspects of the industry.  As the result, the people do not learn anything. Their skills are not developed, therefore, incapable to compete to have a higher level of jobs and earn only the minimum wage until the end of their career in the hospitality industry.

What is happening now in hospitality industry in Indonesia in terms of people and welfare development?


Sources: writer, 2016 - The data is concluded from my recruitment activities between 2015 and 2016.
Hotels with sustainable development values that have been in the industry in an average of more than 20 years, are now the sources of good and talented people in the hospitality industry in Indonesia.  Even though these employees have good benefits, they are pouched by the pure investment hotel by given a higher position and salary.  As the hotel is operated only for profit, these employees did not receive any structured training thus the quality of their leadership and professionalism will not be as good as those who work for hotel with sustainable development value. In the long run they will only be considered from one small hotel to other small hotel unless they stay in the same hotel with the same position until the end of their career.

Indonesia will always need investors. But, government needs to be stricter in the sustainable development responsibility of the investors if they target increment of people welfare. (ade noerwenda)