Saya
bangga sekali ketika membaca Desa Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Patuk,
memperoleh penghargaan sebagai Desa Wisata Terbaik I Indonesia dan menerima
penghargaan ASEAN Community Based Tourism (CBT) Award 2017, yang di serahkan di
Singapura, Jumat 20 Januari 2017. (https://m.tempo.co/read/news/2017/01/21/242838401/desa-wisata-nglanggeran-terbaik-asean-2017)
Bukan
karena saya orang Yogyakarta, tetapi karena saya mengikuti beberapa perjuangan
masyarakat desa di Yogyakarta untuk menjadi desa wisata. Dengan keterbatasan
ketrampilan dan pengetahuan, mereka selalu bersemangat untuk belajar
memperbaiki kualitas program yang ditawarkan ke wisatawan, belajar memasarkan
desa mereka di internet, belajar mengelola keuangan dan belajar melayani para
tamu yang datang.
Desa
Wisata yang diinisiasi oleh masyarakatnya merupakan contoh dari pelaksanaan
Pariwisata Berkelanjutan. Pariwisata
yang lebih bertanggung jawab dan berkomitmen yang dapat memanfaatkan potensi
besar dalam hal kesejahteraan ekonomi, inklusi sosial, perdamaian dan
pemahaman, budaya dan pelestarian lingkungan. (Taleb Rifai, Sekretaris
Jenderal UNWTO, http://media.unwto.org/press-release/2015-12-07/united-nations-declares-2017-international-year-sustainable-tourism-develop)
Tahun 2017
dinyatakan sebagai Tahun Internasional Pariwisata Berkelanjutan oleh
Majelis Umum PBB. 12 bulan kesempatan untuk merayakan dan mempromosikan
kontribusi terhadap sektor pariwisata dalam membangun dunia yang lebih baik. Jadi, tahun ini merupakan kesempatan yang
bagus bagi Kementrian Pariwisata untuk mempromosikan seluruh desa wisata yang menawan
di Indonesia dan menumbuhkan semangat bukan
liburan biasa dengan berpetualang ke desa wisata.
Tantangannya
sekarang adalah, mencari informasi seluruh desa wisata yang ada di Indonesia dan
keunikan programnya. Pada tanggal 22
November 2016, Dirjen Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi Ahmad Erani Yustika di sela-sela Rakernas Bidang UMKM,
Koperasi, dan Ekonomi Kreatif Kadin, Senin (21/11), di Jakarta, menyebutkan,
target desa wisata 2015-2019 mencapai 4.000 desa.
Sejak dikumandangkan tahun
2015 hingga sekarang telah berdiri 150 desa wisata.
(http://travel.kompas.com/read/2016/11/22/191100127/indonesia.memiliki.150.desa.wisata)
Sementara itu dari laman Kemenpar disebutkan bahwa Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf - dulu bernama Kemenbudpar) telah
melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata
sejak 2009 lalu. Hingga kini, sudah ada 569 desa yang dikembangkan menjadi desa
wisata, dengan bantuan dana Rp 150 juta setiap desa. Pada
2012, Kemenparekraf menargetkan 960 desa dapat dikembangkan menjadi desa
wisata. Sementara tahun 2014, ditargetkan ada 2 ribu desa wisata. (http://www.kemenpar.go.id/asp/detil.asp?c=16&id=814)
Dengan program pengembangan desa wisata dari Kementrian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi dan Kementrian Pariwisata seharusnya Indonesia
sudah memiliki ribuan desa wisata. Tetapi
data dari laman resmi 34 Dinas Pariwisata di Indonesia ditemukan hanya 4
Propinsi yang memiliki program Desa Wisata (Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Bali). Data ini didapatkan dari website Kementrian
Pariwisata yang memberikan daftar website resmi dari seluruh Dinas Pariwisata di
Indonesia. Akses dilakukan antara tanggal 10 Januari 2017 hingga 15 Januari
2017. Dari 34 Dinas Pariwisata di
Indonesia, berikut adalah hasil penemuan penulis:
Sangat prihatin untuk menemukan bahwa website resmi 7 Dinas
Pariwisata (Sumatera Selatan, Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, Maluku) tidak bisa diakses bahkan ada keterangan “suspended”. Dari 4 propinsi yang memiliki data mengenai Desa Wisata,
jumlah Desa Wisata yang terdaftar di tahun 2016 adalah 47 desa wisata. Bukan ratusan atau bahkan ribuan seperti yang
ditulis di press release atau media massa.
Dinas Pariwisata Yogyakarta adalah satu-satunya Dinas Pariwisata yang menampilkan jumlah Desa Wisatanya disertai dengan angka kunjungan wisatawan setiap bulannya. Sangat mudah bagi orang awam untuk mendapatkan informasi desa wisata di Yogyakarta. Saya yakin ini juga karena kesiapan para akademisi di Yogyakarta yang memiliki kepedulian tinggi terhadap isu Pariwisata Berkelanjutan. Saya pernah membuat program kerjasama untuk Capacity Building di Desa Wisata Candran dengan Program Studi Pariwisata UGM dan Dinas Pariwisata Yogyakarta pada tahun 2012, sehingga saya bisa melihat apa yang dilakukan para mahasiswa pasca sarjana dan dosen-dosen Studi Pariwisata UGM dalam mendampingi masyarakat desa untuk mempersiapkan mereka menjadi pelaku pariwisata yang berdaya, yang menjaga harmoni antara lingkungan, budaya dan kebutuhan ekonominya.
Untuk mengejar target 20 juta wisatawan di 2019, diperlukan dukungan seluruh pemangku pariwisata Indonesia. Salah satu strategi adalah pemasaran yang dilakukan melalui internet, dengan penyediaan informasi mengenai produk wisata lokal. Menuntut keseragaman tampilan dari website Dinas Pariwisata mungkin terlalu berlebihan, karena akan berhubungan dengan budget. Tetapi memastikan bahwa website tetap bisa diakses dan keseragaman informasi apa saja yang harus ditampilkan tidak perlu budget besar, hanya perlu pemahaman dan kepedulian. Sudah waktunya dipikirkan platform untuk seluruh desa wisata di Indonesia sehingga memudahkan wisatawan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan mengenai destinasi desa wisatanya.
Desa Wisata jika dikelola dengan baik, bisa meningkatkan penghasilan masyarakat, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan membantu Kementrian Pariwisata mencapai target jumlah kunjungan wisatawan. Ambil contoh Kabupaten Gunung Kidul, lokasi Desa Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran, kunjungan wisatawan per 5 Desember 2016 adalah sebesar 2,507,335 orang dengan PAD sebesar Rp. 20,224,777,317 (sumber: presentasi Budi Martono di DPR Yogyakarta, 27 Desember 2016). Jika benar di Indonesia sudah ada ratusan Desa Wisata, jumlah masyarakat desa yang sudah merasakan peningkatan kesejahteraannya pasti meningkat sama halnya dengan sudah banyadan berapa banyak PAD yang sudah dihasilkan.
Kementrian Pariwisata bisa meng-klaim bahwa sudah ada ratusan Desa Wisata yang telah dibangun kenyataannya Dinas Pariwisata masing-masing propinsi tidak mengatakan demikian. Langkah pusat dan daerah dalam hal desa wisata ternyata masih berbeda. Nampaknya kesempatan emas untuk menunjukkan implementasi Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia di tahun 2017, akan terlewatkan begitu saja. (ade noerwenda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar