Saya jadi penasaran, ini jaman millenial, kok masih ada pernikahan dibawah umur.
Saya tanya lebih jauh tentang keluarganya Gino. Ibunya Gino penjual makanan, yang selalu sibuk sama warungnya. Gino tumbuh besar dengan pendidikan dari sekolah saja. Waktu Gino mau masuk SMP pun dia sudah mengancam ibunya, hanya mau sekolah kalau sudah dibelikan motor.
Asisten rumah tangga saya bilang, istrinya Gino memang sering main ke rumah Gino dan kalau disuruh pulang tidak mau.
Saya jadi ingat kalimat-kalimat yang sering menyudutkan wanita karier. Wanita karier melupakan keluarga lah, wanita karier tidak bisa urus anak lah, dlll. Persepsi wanita karier adalah yang bekerja di kantor. Naah, kalau yang bekerja sendiri untuk mencari makan dan menghidupi keluarga, yang berjualan di pasar, yang punya warung, itu bagaimana?
Buat saya mau wanita yang bekerja di kantor, punya warung, punya usaha atau yang memiliki kesibukan semua punya beban dan tanggung jawab yang sama jika mereka sudah menjadi seorang ibu.
Belajar dari kasus Gino, saya mengerti ternyata pendidikan seks masih belum disampaikan dengan baik. Saya ingat waktu anak gadis saya mendapatkan menstruasinya yang pertama, di usia 11 tahun, saya kemudian menerangkan dengan bahasa yang sangat sederhana arti perubahan tubuh dan akibatnya. Kemudian penjelasan mengenai sistem reproduksi saya berikan lagi berulang-ulang sesuai dengan usianya.
Asisten rumah tangga saya kemudian bertanya, boleh ya kita mengajarkan begitu? Saya bilang kalau tidak ibu lalu siapa? Berharap guru di sekolah akan mengajarkan hal tersebut?
Sama halnya bagaimana anak saya waktu SMA sangat frustasi dengan teman-temannya yang tidak pernah antri, tidak pernah bilang terima kasih dan tidak pernah meminta maaf jika salah. Siapa yang mengajarkan untuk selalu berterima kasih, antri dan minta maaf dari anak-anak masih kecil?
Coba lihat kasus Citilink dengan pilotnya yang mabuk baru-baru ini, CEO nya, Albert Burhan dan Direktur Operasionalnya, Hadinoto Soedigno langsung mengundurkan diri. Pertama kali di sejarah Indonesia ada orang yang berjiwa besar seperti itu. Saya penasaran, siapa ibu-ibu mereka dan apa yang diajarkan beliau.
Gino, mengingatkan saya bahwa pendidikan adalah kunci keberhasilan bangsa, seharusnya berawal dari rumah. Jika saya boleh bermimpi di tahun 2017, saya bermimpi ada kurikulum mata kuliah untuk menjadi seorang ibu yang baik, yang bisa membantu anak-anaknya bikin PR, yang mengerti proses tumbuh kembang anak, yang mengajarkan budi pekerti, yang mengajarkan ketrampilan untuk bersosialisasi dan hidup dan tidak memanjakan anak-anak.
Saya berterima kasih, saya waktu SD dibuat sangat sibuk oleh ibu saya. Saya harus belajar menari Bali, karena menari Bali membentuk kelenturan tubuh saya dan saya belajar budaya. Saya harus les bahasa inggris, karena itu adalah bahasa dunia. Saya harus suka olah raga, belajar berenang, badminton, pingpong, tenis dan bahkan karate. Akhirnya saya belajar bahwa dari olahraga terbentuk jiwa sportif, bahwa ada saat menang dan kalah. Jika kalah ya harus menerima.
Mungkin pemerintah sudah waktunya untuk menggunakan talenta para ibu untuk menjadi agent of change dengan misi: membuat Indonesia lebih baik, yang para generasi mudanya memiliki ketahanan mental dan budi pekerti, memutus rantai kemiskinan atau bahkan membangun generasi entrepreneur.(ade noerwenda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar